Belajar Berdamai dengan Overthinking: Catatan Reflektif Menuju Kedewasaan
Bicara mengenai overthinking, sering kali ada banyak hal yang membuat pikiran kacau. Ingin mengabaikannya, tapi tetap kepikiran; jika dipikirkan, malah bikin galau. Wajar, sebagai manusia, kita pasti memiliki banyak hal yang perlu dipertimbangkan.
Sejak kecil, kita sudah terbiasa berpikir tentang berbagai hal --- mulai dari bagaimana menjawab soal matematika yang sulit, meminta tanda tangan orang tua di kertas ujian dengan nilai jelek, hingga memutuskan mau bermain apa sepulang sekolah. Berpikir itu alami, selama kita hidup, kita akan selalu memiliki sesuatu untuk dipikirkan. Tanpa pikiran, kita bukan manusia, melainkan zombie.
Semakin bertambah usia semakin kompleks persoalan yang akan kita hadapi, dan overthinking pun ikut meningkat. Ini wajar. Overthinking adalah bagian dari proses pendewasaan. Jika kita tidak bisa mengatasi masalah kecil, akan sulit menghadapi masalah yang lebih besar di masa depan. Menjadi dewasa berarti bergelut dan berteman dengan masalah. Singkatnya, menjadi dewasa adalah menghadapi masalah.
Menjelang usia seperempat abad, overthinking saya tak lagi soal hal-hal sepele. Kini, saya lebih banyak memikirkan jodoh, karir, pendidikan, dan peran saya sebagai wanita. Jawabannya tidak bisa ditemukan dengan mudah.
Baca juga Catatan Menuju Seperempat Abad
Dulu saya bercita-cita lulus kuliah di usia 21 tahun, melanjutkan pendidikan profesi selama dua tahun, lalu menikah di usia 23 tahun. Takdir berkata lain. Saya memang lulus di usia 21 tahun, tetapi belum diberi kesempatan melanjutkan pendidikan maupun menikah. Kecewakah saya? Tentu. Namun, semakin dewasa, saya menyadari bahwa banyak hal dalam hidup terjadi di luar kendali saya. Mau tidak mau, saya harus menerima dan menjalaninya.
Soal jodoh, hingga kini belum ada tanda-tandanya. Kecewa? Ada, tapi tidak berlarut-larut. Sebagian diri saya merasa ingin segera menikah, apalagi melihat teman-teman dan adik tingkat sudah banyak yang berumah tangga. Namun, di sisi lain, saya bertanya: 'Sudah cukupkah ilmu dan mental saya untuk menghadapi pernikahan?'. Kegelisahan ini belum menemukan jawaban.
Baca juga Meluruskan Makna Self Healing: Bukan Jalan-Jalan!
Menjadi dewasa mengajarkan saya untuk mengambil hikmah dari setiap peristiwa. Saya kini lebih banyak berpikir sebelum bertindak, tidak lagi terburu-buru. Yang terpenting bukan seberapa cepat mencapai tujuan, melainkan apakah tujuan itu memang tepat untuk saya. Dalam perjalanan, bisa saja saya menyadari bahwa tujuan yang saya kerjar bukan yang terbaik, dan saya tidak ragu untuk mengubah arah.
Hidup, bagi saya, hanyalah soal perspektif. Jika terus membandingkan diri dengan orang lain, kita akan selalu merasa kurang. Sebaliknya, orang lain mungkin melihat hidup saya nyaman, padahal saya sendiri masih berjuang.
Solusi terbaik untuk mengurangi overthinking adalah bersikap lebih santai. Jalani saja hidup yang ada, karena setiap orang memiliki jalannya masing-masing. Jika adik sepupu menikah lebih dulu, ya sudah, memang sudah waktunya. Tidak perlu mengeluh atau menangis berlebihan, karena itu hanya akan membuang energi.
Terakhir, overthinking itu wajar. Tapi jangan biarkan ia menguasai hidup. Alih-alih fokus pada apa yang belum dicapai, lebih baik nikmati dan manfaatkan waktu yang kita miliki sekarang dengan baik.
Salam sesama overthinker, Sandyakala💗
Comments
Post a Comment