Membaca Dunia dengan Cara Berbeda – Bagian 5: Deteksi Dini, Harapan Lebih Awal


Bayangkan seorang anak di hari-hari pertamanya di sekolah dasar. Ada yang cepat sekali merangkai huruf menjadi kata, ada juga yang masih terbata-bata dan butuh waktu lebih lama. Perbedaan ini wajar, tapi jika dibiarkan terlalu lama tanpa pendampingan, bisa menjadi kesenjangan yang sulit dikejar. Itulah mengapa deteksi dini sangat penting dilakukan. Masa awal sekolah adalah “masa emas” perkembangan membaca—di periode inilah intervensi akan memberikan dampak paling besar. Dengan mengenali kebutuhan anak sejak dini, kita bisa membuka jalan bagi harapan yang lebih awal, sebelum kesempatan berharga itu lewat begitu saja.

🌙

Kesenjangan prestasi antara anak dengan kemampuan membaca tipikal dan anak dengan disleksia sudah bisa terlihat sejak kelas 1 SD. Jika tidak ditangani sejak dini, perbedaan ini bisa berlangsung lama dan semakin melebar. Karena itu, deteksi dini sangat penting dilakukan sejak anak masuk TK hingga kelas 1 SD, agar intervensi bisa diberikan sebelum mereka benar-benar tertinggal.

Screening Disleksia

Screening disleksia bertujuan untuk mengenali anak-anak yang berisiko secara cepat dan efisien. Perlu diingat, screening bukan alat diagnosis, melainkan bentuk pengamatan awal yang dilakukan pada semua anak di kelas rendah SD (universal screening).

Di sini, guru memegang peran penting. Setiap hari mereka melihat langsung bagaimana anak berinteraksi dengan bahasa, bermain dengan bunyi, hingga menyelesaikan tugas akademik sederhana. Dari pengamatan ini, guru bisa memberikan gambaran siapa anak yang perlu perhatian lebih. Namun, tentu saja guru juga perlu dibekali kemampuan untuk membedakan siapa yang benar-benar berisiko disleksia (true positives) dan siapa yang tidak (true negatives). Idealnya, screening dilakukan di semester kedua kelas 1 SD, karena setiap anak datang dengan pengalaman prasekolah yang berbeda-beda.

Bagaimana Mendiagnosa Disleksia?

Diagnosis disleksia bukan sekadar hasil dari satu tes, tapi merupakan proses klinis yang komprehensif. Ahli yang berpengalaman akan melihat riwayat anak, gejala yang muncul, serta profil belajarnya—mulai dari kemampuan kognitif hingga capaian akademik. Tes memang membantu, tetapi hanya menjadi salah satu bagian dari rangkaian evaluasi. Disleksia baru bisa dipastikan melalui gambaran klinis yang menyeluruh, bukan dari satu skor semata.

Langkah-Langkah Menuju Diagnosis Disleksia

Proses diagnosis disleksia mirip dengan diagnosis medis pada umumnya—tidak bisa instan, melainkan melalui tahapan yang sistematis. Beberapa langkah penting yang biasanya dilakukan adalah:

  1. Menetapkan adanya masalah membaca yang tidak sesuai dengan usia atau tingkat pendidikan anak.
  2. Mengumpulkan bukti ketidakterdugaan (misalnya, anak punya hasil tes kecerdasan tinggi tetapi kemampuan membacanya jauh di bawah harapan).
  3. Menunjukkan kelemahan fonologis (bunyi bahasa), sementara kemampuan bahasa tingkat tinggi seperti berbicara atau memahami tetap baik.
  4. Menyintesis seluruh data klinis, karena diagnosis tidak bisa ditentukan hanya dari satu skor tes.

Ciri-Ciri Utama Disleksia

Secara umum, disleksia ditandai dengan kesulitan membaca yang berbasis fonologi. Beberapa ciri yang sering muncul antara lain:

  1. Perbedaan nyata antara kemampuan membaca dan kecerdasan/usia.
  2. Kesulitan membaca kata tunggal, terutama kata asing atau yang belum pernah ditemui.
  3. Membaca lambat, tidak akurat, terbata-bata, dan tanpa intonasi.
  4. Sering kesulitan membaca kata pendek fungsi (seperti itu, dan, adalah, untuk).
  5. Ejaan yang buruk atau tidak konsisten. Pemahaman bacaan relatif lebih baik dibanding kemampuan membaca kata per kata.
  6. Kecerdasan anak normal bahkan bisa di atas rata-rata.

🌟 Contoh: Anak yang sangat cerdas, memiliki skor membaca “rata-rata”, tapi masih terbata-bata dan menunjukkan ciri-ciri di atas, mungkin mengalami disleksia.

Kesalahpahaman Umum

Masih ada banyak mitos seputar disleksia. Beberapa yang paling sering adalah:

  1. Tidak semua anak dengan nilai rendah = disleksia.
  2. Tidak semua anak dengan disleksia mendapat nilai rendah.
  3. Tidak ada satu tes tunggal yang bisa memastikan diagnosis disleksia.
  4. Tes genetik tidak bisa digunakan untuk mendiagnosis disleksia.

Apa Saja yang Dinilai dalam Evaluasi?

Dalam proses evaluasi, ahli biasanya menilai berbagai aspek berikut:

  1. Akurasi membaca.
  2. Kelancaran membaca (fluency).
  3. Kemampuan memahami bacaan.
  4. Pengucapan kata nyata maupun kata “palsu” (pseudo-word).
  5. Kemampuan mengeja (spelling).
  6. Tingkat kecerdasan (IQ).
  7. Riwayat perkembangan anak serta observasi dari guru/orang tua.

Di sini, guru berperan sangat besar sebagai pengamat sehari-hari di kelas. Karena itu, guru perlu diberikan pelatihan untuk mengenali tanda-tanda awal disleksia. Pada akhirnya, kunci intervensi yang berhasil adalah kolaborasi erat antara orang tua, guru, dan sekolah.

Pesan untuk Orang Tua 

Jangan langsung marah, tetap terbuka & berkolaborasi 

Bangun kerja sama dengan guru & sekolah 

Percayalah pada kekuatan anak—mereka tidak malas atau bodoh 

Fokus pada potensi, bukan kekurangan

🌙 

Dengan memahami proses deteksi dan diagnosis disleksia, kita bisa lebih siap mendampingi anak sejak awal. Namun, perjalanan tidak berhenti di sini. Pada seri berikutnya, kita akan membahas intervensi yang tepat bagi anak disleksia. Sampai jumpa di seri selanjutnya!

📖

Comments