REVIEW K-DRAMA: IT'S OKAY NOT TO BE OKAY (PART 2)

Kisah Moon Gang-tae dan Ko Moon-young dalam It's Okay Not To Be Okay seringkali membuat haru para penontonnya. Berawal dari pertemuan yang tidak sengaja ketika Moon-young menyelamatkan Gang-tae sewaktu kecil, tidak disangka keduanya memiliki luka masa lalu yang membekas hingga dewasa. Keduanya sama-sama menjadi korban dari ambisi dan keinginan orang tuanya, hingga akhirnya mereka mencoba berdamai dengan masa lalu dan saling menyembuhkan satu sama lainnya.

  • Luka Masa Kecil Gang-tae

Autisme yang dialami oleh Sang-tae menjadikan ia memperoleh perhatian lebih dari orang-orang disekitarnya, termasuk ibunya. Gang-tae kecil beranggapan bahwa ibunya lebih memprioritaskan Sang-tae dibandingkan dirinya, ditambah lagi dengan perkataan ibunya “kamu harus menjaga kakakmu sampai ajal menjemputmu, karena itulah ibu melahirkanmu”. 

Gang-tae kecil merasa ibunya pilih kasih, dan terlalu kejam pada dirinya dengan memberikan tanggung jawab besar untuk menjaga Sang-tae dengan usianya yang terlalu dini. Hingga pada akhirnya Gang-tae memiliki keinginan untuk membunuh Sang-tae dengan membiarkan Sang-tae tenggelam di sungai es.  Namun hal  ini tidak terjadi mengingat rasa sayang Gang-tae pada Sang-tae lebih besar dibanding rasa bencinya.

Semenjak kematian ibunya yang menjadikan Sang-tae memiliki rasa traumatis, Gang-tae menyadari bahwa kondisi kakaknya membutuhkan perhatian penuh dari dirinya. Gang-tae  kecil mau tidak mau tumbuh dewasa lebih cepat agar dapat melindungi dan mengayomi kakaknya. Beban tanggung jawab yang ada di pundak Gang-tae sebagai  adik, pencari nafkah, kepala rumah tangga, dan wali Sang-tae.

Tumbuh menjadi pria yang hanya bisa mengandalkan diri sendiri turut membentuk kepribadian Gang-tae yang sangat tertutup. Sangat mudah bagi Gang-tae untuk membohongi perasaannya sendiri, selalu menahan diri, dan berusaha terlihat kuat dan baik-baik saja dihadapan semua orang. Ia memiliki rasa simpati dan empati yang tinggi pada orang lain, namun hal ini menjadikannya tidak peduli akan dirinya sendiri. Ia tidak memiliki kemampuan mengidentifikasi perasaan yang sedang dialaminya.

  • Anak merupakan individu yang utuh, bukan lukisan kanvas orang tua

Moon-young tumbuh menjadi seorang yang berkepribadian antisosial tak lepas dari pola pengasuhannya semasa kecil. Ibunya, Do Hui-jae merupakan seorang penulis buku fiksi terkenal yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk menulis. Sang ayah, Ko Dae-hwan merupakan seorang arsitek terkenal. Ia sangat mencintai istri sehingga ia membangun kastil besar dan megah di tengah hutan yang jauh dari jangkauan orang lain agar fokus istrinya tidak terganggu saat menulis. 

Do Hui-jae ingin menjadikan Moon-young sebagai seorang putri seperti yang ada dalam cerita dongeng anak-anak. Ia memberikan batasan yang sangat ketat pada hidup Moon-young hingga tak segan untuk mengatur hidup Moon-young seperti barang, hal ini menjadikan Moon-young tumbuh menjadi anak yang tertutup, tidak pandai bersosialisasi, serta memiliki kecenderungan berperilaku kejam dan sadis hingga memiliki kepribadian antisosial. 

Drama ini menyiratkan pesan bahwa sejatinya anak merupakan individu yang utuh. John Locke dalam teori Tabula Rasa-nya menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan bagaikan kertas kosong. Pengalaman yang ada dalam lingkungan tumbuh kembang anak beserta pola pengasuhan sangat berpengaruh membentuk kepribadian, perilaku sosial, dan emosional anak. 

Do Hui-jae memiliki penyakit mental, ia ingin menjadikan Moon-Young seperti representasi dirinya yang kejam dan tidak memiliki empati. Segala upaya ia kerahkan agar Moon-young patuh terhadap dirinya. Namun saat bertemu Gang-tae sikap dan kepribadian Moon-young menjadi lebih lunak, hal ini berdampak pada marahnya Do Hui-jae dan memicu munculnya perilaku impulsif yang menyakiti orang lain termasuk anaknya sendiri.

  • Tuntutan dan ekspektasi orang tua pada anak

Pada episode 3 dan 4 menghadirkan penampilan dari Kwak Dong-yeon sebagai salah satu pasien di Rumah Sakit Jiwa OK. Ia berperan sebagai Kwak Ki-do, seorang putra politisi yang memiliki gangguan mental serta seringkali melakukan tindakan ekshibisionisme dengan memperlihatkan alat kelaminnya pada beberapa perempuan. Pada suatu hari ia kabur dari rumah sakit jiwa dan mengacaukan kampanye ayahnya dan membuat keributan, hal ini membuat ayahnya pingsan karena serangan jantung dan ibunya sangat marah dan menampar Ki-do.

“Aku anak bungsu Kwon Man-su. Aku memiliki penyakit mental. Aku anak yang memalukan keluargaku. Lihatlah, setiap orang di keluargaku termasuk orang tuaku, saudara kandungku, dan sepupuku masuk ke jurusan Hukum Universitas Seoul. Aku orang terbodoh di keluargaku.  Tapi itu bukanlah kesalahanku. Aku hanya lahir dengan sedikit bodoh, tapi dia memukulku karena aku tidak mendapatkan nilai yang bagus. Dia meremehkanku karena aku tidak bisa mengerti dengan baik. Dia mengurungku karena menyebabkan masalah.” 

“Maksudku, aku juga anaknya. Tapi dia memperlakukanku seperti aku tidak terlihat. Aku hanya ingin perhatiannya. Aku ingin dia melihatku. Jadi aku melakukan banyak hal gila untuk menarik perhatiannya. Aku akhirnya jadi gila!” Ucap Kwak Ki-do dalam kampanye ayahnya.

Baca juga Review K-Drama: It's Okay Not To Be Okay (Part 1)

Keesokan harinya Kwon Man-su, ayah Ki-do mendatangi Rumah Sakit Jiwa dan memprotes tindakan Rumah Sakit yang membiarkan anaknya kabur dan membuat keributan. Ia menyatakan bahwa ia tidak membutuhkan anak laki-laki yang sama sekali tidak berguna. Terkadang tanpa disadari, orang tua seringkali memberikan tuntutan yang berlebihan pada anak tanpa tahu anak mampu atau tidak, senang atau tidak dengan tuntutan yang dibebankan padanya. Apa yang menurut orang tua baik tidak selamanya baik menurut pandangan anak. Maka dari itu perlunya orang tua untuk mengenali kemampuan dan hal yang disukai anak, menurunkan ekspektasi apabila apa yang diinginkan orang tua dan anak tidak sejalan, serta membuka ruang diskusi dan komunikasi yang seluas-luasnya untuk mencari titik temu yang terbaik bagi orang tua dan anak.


Comments