Merantaulah, Manisnya Hidup Akan Terasa Setelah Lelah Berjuang

Orang berilmu dan beradab tidak akan diam di kampung halaman

Tinggalkan negerimu dan merantaulah ke negeri orang

Merantaulah, kau akan dapatkan pengganti dari kerabat dan kawan

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang

Singa jika tak tinggalkan sarang tak akan dapat mangsa

Anak panah jika tidak tinggalkan busur tak akan kena sasaran

Jika matahari di orbitnya tidak bergerak dan terus diam

Tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang

Biji emas bagaikan tanah biasa sebelum digali dari tambang

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika didalam hutan

-Imam Syafi’i dalam novel “Negeri 5 Menara”- 

Kutipan diatas merupakan salah satu alasan dan motivasi terbesarku untuk menjajal dunia perantauan. Pertama kalinya aku membaca novel “Negeri 5 Menara” ketika aku duduk di tingkat pertama Madrasah Aliyah, aku pun langsung jatuh cinta saat membaca halaman pertama novel ini. Kiranya kutipan inilah yang menjadi alasan mengapa aku jatuh cinta. Selama 16 tahun aku hidup, aku belum pernah merasakan bagaimana hidupdi kota lain. Karena sudah terlalu nyaman hidup di tanah kelahiranku, aku pun penasaran apakah akan senyaman ini tanah perantauan? Ataukah sebaliknya? Begitulah anganku saat itu.

Keinginan untuk merantau semakin besar tatkala aku memasuki tingkat akhir Madrasah Aliyah. Aku pun memutuskan untuk mengambil pendidikan sarjanaku di kota sebelah. Awalnya Bapak-Ibu memintaku untuk kuliah didaerah Sidoarjo dan Surabaya. Maklumlah, aku memang gadis yang tidak suka akan keramaian dan hiruk pikuk jalanan. Sehingga aku lebih sering berdiam diri dirumah, ketimbang bersosialisasi dengan lingkungan sekitarku. Inilah yang membuat orang tuaku khawatir bagaimana nantinya jika aku merantau dan tinggal sendiri di kota yang asing bagiku. Akhirnya, karena memang niatku sudah bulat untuk merantau, aku pun meyakinkan kedua orang tuaku untuk mengizinkanku kuliah di kota lain namun dengan syarat aku harus melanjutkan kuliah di Malang. Mungkin terlalu dekat untuk standar “anak rantau” karena hanya berjarak beberapa kilometer dari rumah dan bisa ditempuh selama 2 jam perjalanan darat. Memang benar adanya, namun aku bersyukur bahwa untuk belajar menjadi anak rantau tidak harus diukur dari seberapa jauh tanah rantau kita dari kampung halaman. Namun, seberapa kuatnya kita bisa bertahan dan beradaptasi dengan perbedaan yang ada.

Setelah melalui beberapa proses seleksi perguruan tinggi yang ketat, akhirnya aku resmi menjadi seorang mahasiswi di salah satu Universitas Islam Negeri di Kota Malang. Karena kampusku mewajibkan mahasiswanya untuk tinggal diasrama selama 1 tahun, untuk pertama kalinya aku diberikan kesempatan merasakan kehidupan seorang santri selayaknya di sebuah Pondok Pesantren, karena kami berada di level mahasiswa maka kami biasa disebut “mahasantri”. Di asrama, untuk 1 kamar bisa ditempati oleh 10 anak dari berbagai daerah dan jurusan yang berbeda. Tentu hal ini cukup sulit bagi kebanyakan orang, termasuk aku. Percekcokan pun tak jarang kami alami karena permasalahan yang sepele, namun dari adanya kesalahpahaman ini menjadikan kami semakin dewasa dalam menyikapi suatu masalah. Aku pun menyadari bahwa hidup dalam satu kamar bersama 10 orang dengan bermacam-macam karakter dan beratap bersama ratusan orang dari penjuru Indonesia mengajarkanku untuk respect satu sama lain.  Bagiku yang notabene tergolong manusia yang individualis, realistis, serius, tidak bertele-tele, dan anti sosial, pengalaman tinggal di asrama memberiku pelajaran yang sangat berharga. Dari sana, aku belajar untuk membangun komunikasi yang baik dengan sesama teman sekamar, seasrama, maupun para pendamping kami. Selain itu aku pun harus belajar bersabar untuk segala hal, bersabar untuk menunggu antrian kamar mandi, bersabar untuk menghadapi teman yang menjengkelkan bagi kita, bersabar dalam menjalani kegiatan asrama yang menguras tenaga, dan bersabar ketika menghadapi suatu masalah. Intinya, aku bersyukur bisa diberi kesempatan untuk merasakan hidup di tanah rantau, bertemu dengan teman-teman dari berbagai daerah di Indonesia, memahami sifat dan karakteristik mereka, dan berusaha untuk menghormati kebiasaan mereka. Dari sini, aku bertekad untuk membuka lembaran baru dalam hidupku. Perlahan-lahan aku mencoba untuk hidup sebagai seorang yang sosialis, karena aku menyadari bahwa aku tidak bisa selamanya bersikap anti sosial ketika sudah terjun ke masyarakat  nanti.

Pada tahun kedua perkuliahan, aku memutuskan untuk tinggal dikos-kosan bersama teman yang sejurusan denganku. Pengalaman tinggal di kosan memberiku banyak kelonggaran untuk mengikuti kegiatan diluar perkuliahan. Ada beberapa komunitas dan Lembaga Semi Otonom (LSO) yang dibawahi langsung oleh fakultas sebagai suatu wadah pengembangan bakat dan minat mahasiswa. Komunitas dan LSO hampir sama dengan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) yang ada di Universitas. Namun yang menjadikan komunitas dan LSO istimewa karena mereka menerapkan ilmu psikologi secara nyata didalam berorganisasi, hal inilah yang membuatku lebih memilih untuk berpartisipasi dalam berbagai komunitas di fakultas ketimbang komunitas di universitas.

Setidaknya saat ini aku sudah tergabung didalam beberapa komunitas, seperti komunitas menulis psychonews journalism, komunitas penulis muda antropologi, komunitas penelitian psychology learner communnity, dan komunitas segala bidang psychoworld. Aku sangat bersyukur menjadi bagian dari komunitas ini, tak terbayang sebelumnya aku yang ansos bisa berinteraksi dengan teman-teman antar angkatan, menjalin hubungan yang baik antar komunitas, bergaul dengan dosen-dosen yang menginspirasi, berani menyuarakan pendapat dan bertanggung jawab atas setiap keputusan yang telah aku ambil, memiliki senior yang bagaikan kakak kandung sendiri, dan masih banyak lagi.

Pada komunitas psychonews journalism, aku ditunjuk sebagai direktur komunitas yang memimpin dan merangkul teman-teman reporter. Awalnya aku sangat percaya diri dengan terpilihnya aku sebagai seorang pemimpin, pikirku saat itu tidak sulit untuk memimpin 7 orang reporter karena hal ini akan sama dengan ketika aku memimpin sebuah kelompok belajar. Namun kini, aku menyadari bahwa menjadi seorang pemimpin tidak semudah yang aku bayangkan. Menggabungkan 7 pikiran dan karakter individu yang berbeda-beda sangatlah susah. Belum lagi aku harus menjadi penghubung antara para reporter dan petinggi komunitas dalam setiap waktu. Jujur, menjadi seorang direktur komunitas dan reporter benar-benar menguji mentalku. Untunglah, aku memiliki beberapa orang editor yang membimbingku dalam melaksanakan tugas ini sehingga aku bisa melewati masa-masa sulit sebagai direktur psychonews. Terima kasih kak!

Pada masa perantauan ini, untuk pertama kalinya aku mencoba untuk mendapatkan uang dengan kerja kerasku sendiri. Meski kedua orang tuaku melarang untuk bekerja dengan alasan untuk fokus kuliah, aku berusaha untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang menghasilkan uang. Gaji pertama aku peroleh ketika membantu seniorku yang berada di Belanda menyebarkan angket untuk bahan tesisnya, dari sini aku memperoleh honor Rp. 200.000. Sungguh aku sangat bahagia sekali, uang tersebut aku belikan rak buku sebagai kenang-kenangan bahwa benda tersebut aku beli dengan gaji pertama yang aku dapatkan.

Usahaku untuk mendapatkan uang bukan hanya itu saja. Untuk pertama kalinya juga aku berhasil mendapatkan beasiswa prestasi akademik, ini merupakan kali pertama dalam sejarah hidupku mendapatkan beasiswa dan beasiswa ini murni untuk siswa berprestasi bukan untuk siswa yang kurang mampu. Selain itu, aku berpartisipasi dalam penelitian kompetitif mahasiswa (PKM) yang mengenalkanku akan dunia penelitian lebih dini. Pada PKM ini, tiap 1 judul penelitian diberikan apresiasi senilai 2,5 juta rupiah. Dan yang terakhir, menjadi seorang surveyor lapangan pada penelitian yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia. Sungguh, ini merupakan pengalaman yang sangat berharga buatku. Untuk pertama kalinya aku benar-benar kerja layaknya seorang professional. MasyaAllah, nikmat manakah yang kau dustakan

Alhamdulillah, demikian secuil pengalaman berharga yang telah aku dapatkan selama berada di tanah rantau. Terima kasih, pertemuanku dengan novel “Negeri 5 Menara” membawaku ke dalam dunia perantauan yang penuh dengan lika-liku yang ada. Darinya aku bisa merasakan bagaimana hidup di tanah perantauan dan sedikit demi sedikit aku belajar tentang kehidupan. Ingatlah bahwa seekor ikan akan tumbuh lebih baik pada kolam yang besar dibandingkan pada kolam yang kecil. Merantaulah, uji kemampuan dirimu dan lihatlah bahwa bumi Allah itu luas. Selamat mencoba 😉

Malang, 26 Oktober 2017


Comments